tari sintren,tarian untuk memanggil hujan

                          
       Tari sintren merupakan ritual adat untuk memohon hujan ketika musim kemarau. Tarian dilakukan selama 40 malam tanpa henti dan dilakukan oleh seorang gadis. "Indonesia memang kaya akan tradisi dan budaya. Bahkan untuk meminta hujan banyak sekali ritual unik yang dipercaya masyarakat di beberapa daerah di Indonesia terutama dari daerah pesisir utara pulau Jawa salah satunya adalah tari sintren," kata Ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) Pimpinan Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabuapaten Brebes, Jawa Tengah, Lukman Suyanto.
Lukman menerangkan sintren tersebar di beberapa tempat di Jawa Tengah yakni Brebes dan Pemalang, kemudian di Jawa Barat yakni di Cirebon, Majalengka, dan Indramayu. Di Jateng, tarian pemanggil hujan dikenal dengan nama sintren, sedangkan di wilayah Jabar disebut lais. Antara lais dan sintren memiliki beberapa kesamaan, namun ada sedikit perbedaan.
       Sintren diiringi dengan gambang dan gendang, sedangkan lais diiringi dengan gambang dan buyung (gentong kecil). Lagu dan syair yang mengiringi berbeda. Seiring dengan perkembangan, Sintren banyak berubah dari bentuk aslinya. Banyak kreasi yang di tambahkan agar tarian tampak menarik. "Kabupaten Brebes merupakan wilayah pesisir utara, sehingga sintren marak di beberapa wilayah di kota ini. Beberapa seniman lokal pernah menganggkatnya dalam sebuah film pendek. Seni tradisi ini juga pernah dipentaskan di TMII Jakarta," imbuhnya.

       Namun seiring berkembang teknologi, sintren dan lais mulai ditinggalkan. Namun kesenian ini kerap tampil dalam pawai budaya daerah. "Masyarakat tidak banyak berminat mementaskan kesenian ini. Masyarakat lebih memilih orkes atau organ tunggal untuk menemani pesta hajat mereka. Banyak grup kesenian sintren yang akhirnya harus tutup panggung," pungkasnya.
       Indonesia memang kaya akan tradisi budaya. Bahkan, untuk minta hujan, hampir seluruh daerah di Indonesia punya ritual yang unik, yang dipercaya masyarakat setempat, bisa mendatangkan hujan di musim kemarau. Apalagi musim kemarau tahun ini, mengakibatkan kabut asap yang parah di Provinsi Riau, hingga menjalar ke Provinsi Sumbar dan Sumut.
Warga di lereng Gunung Slamet, Pemalang, Jawa Tengah, menggelar tradisi Tarian Sintren. Tarian ini merupakan wujud pengharapan segera turun hujan setelah kekeringan melanda lebih dari 3 bulan.
Dalam tayangan Liputan 6 SCTV, Rabu (9/10/2013), Tarian Sintren ini dibawakan belasan remaja di Desa Cikendung, Kecamatan Pulosari. Syaratnya, 2 penari Sintren harus benar-benar masih gadis dan perjaka.
Tarian sintren hanya muncul di saat masyarakat tengah dilanda bencana kekeringan. Doa dan harapan tetap dipanjatkan pada Sang Khaliq agar hujan cepat turun.
Perubahan musim yang tidak dapat diprediksi akhir – akhir ini tentu saja membuat keresahan. Terkadang musim hujan terlampau panjang hingga menyebabkan banjir, namun musim kemarau juga tidak berkesudahan sehingga pengairan kering.Tahukah kamu bagaimana dulu nenek moyang kita mengatasi musim kemarau? Ternyata ada ritual unik loh pada dahulu kala untuk mengatasi musim kemarau, yaitu ritual memanggil hujan. Berbagai daerah di Indonesia memiliki ritual uniknya masing – masing untuk memanggil hujan, salah satunya melalui tarian. Lalu tarian yang bagaimana untuk memanggil hujan? Yuk simak infonya dibawah ini ya!
  
Tari Sintren

Tari Sintren adalah tarian tradisional masyarakat Jawa tepatnya di daerah Cirebon Jawa Barat. Tari ini juga disebut dengan lais yaitu bentuk tari-tarian dengan aroma mistis/magis yang bersumber dari cerita cinta kasih Sulasih dengan Sulandono.Sintren diperankan seorang gadis yang masih suci, dibantu oleh pawang dan diiringi gending 6 orang. Gadis tersebut dimasukkan ke dalam kurungan ayam yang berselebung kain. Pawang/dalang kemudian berjalan memutari kurungan ayam itu sembari merapalkan mantra memanggil ruh Dewi Lanjar. Jika pemanggilan ruh Dewi Lanjar berhasil, maka ketika kurungan dibuka, sang gadis tersebut sudah terlepas dari ikatan dan berdandan cantik, lalu menari diiringi gending.

 Tari Gundala – Gundala Karo

Tari Gundala – Gundala Karo merupakan tari berasal dari Kabupaten Karo yang terletak di kawasan Bukit Barisan, Sumatera Utara. Tarian Gundala – Gundala Karo memiliki tujuan untuk memanggil hujan atau dalam bahasa batak di sebut Ndilo Wari Udan. Para penari Gundala – Gundala menggunakan kostum dengan pakaian seperti jubbah dan topeng yang terbuat dari kayu.
Dikisahkan pada zaman dahulu terjadi kesalahpahaman antara putri seorang raja dan seekor burung Gurda – Gurdi. Awalnya mereka bersahabat, namun burung Gurda – Gurdi memiliki pantangan yaitu apabila ada bagian tubuhnya terpegang oleh manusia ia akan menjadi berang dan marah. Tanpa sengaja putri memegang paruh burung Gurda – Gurdi ketika sedang bercanda. Burung Gurda – Gurdi pun berang, lalu untuk kedua kalinya suami sang putri juga memegang bagian tubuh burung Gurda – Gurdi untuk menenangkan.  Akhirnya berakhir pertempuran antara pangeran dan burung Gurda-gurdi. Hingga berakhir dengan meninggalnya burung Gurda-gurdi. Setelah meninggal para manusia baru menyadari bahwa hal tersebut hanyalah karena kesalahpahaman. Pada hari meninggalnya burung Gurda-gurdi hari tiba – tiba mendung dan hujan turun dengan derasnya.

Tari Sabet

Tradisi tari sabet merupakan budaya masyarakat yang berasal dari Banjarnegara, Desa Karangjati. Tari sabet ini salah satu bagian dari ritual Ujungan. Ujungan adalah pertarungan rotan antara dua orang yang diselingi dengan menari dan hanya diperbolehkan memukul kaki. Melalui Tari Sabet, para warga untuk meminta hujan apabila kemarau panjang. Ritual ini hampir mirip dengan tradisi Tiban dari Blitar, Jawa Timur.

Tarian Suling Dewa

Suling dewa merupakan salah satu kesenian tradisional yang berasal dari Bayan, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB). Tarian ini hanya digelar ketika musim kemarau melanda. Tujuannya tentu saja untuk memohon turunnya hujan. Kesenian ini lahir ketika wilayah Bayan dilanda musim kemarau yang berkepanjangan. Sebelum tarian berlangsung, masyarakat Bayan menentukan hari, waktu, dan tempat yang dinilai baik untuk melaksanakan ritual tersebut. Selain itu, masyarakat Bayan juga menyiapkan sesaji berupa kembang, makanan dan kapur sirih. Kapur sirih ini menjadi komponen yang paling penting dan dipercaya dapat mendatangkan hujan.
Keunikan lain yaitu dalam suling yang digunakan, ada sebuah pemahaman filosofis yang begitu mendasar dan mulia. Alat musik seruling ini menggambarkan wujud manusia, apabila seruling ini tidak diberikan hembusan nafas, maka tidak akan menghasilkan nada-nada indah. Begitu juga dengan manusia, bila raga tanpa atma atau roh, tentu tidak akan ada kehidupan.Menarik ya! Sepertinya memang ritual di Indonesia selalu dikaitkan dengan pertunjukan seni. Tidak hanya dalam bentuk lagu namun juga bentuk tarian. Meskipun saat ini perkembangan zaman sudah sangat maju, semoga keunikan ini tetap dapat lestari sampai kapan pun ya. Kalau di daerahmu tarian memanggil hujan.


Komentar

Postingan Populer