Sintren dan teknologi masa kini



Kesenian tradisional semakin memprihatinkan seiring kemajuan teknologi. Keberadaanya di tengah masyarakat makin dilupakan. Salah satunya adalah kesenian sintren.Indonesia merupakan negara paling banyak memiliki kesenian tradisional. Mulai dari Sabang hingga Merauke, setiap daerah memiliki kesenian tradisional yang berbeda-beda.

Salah satu kesenian tradisional yang makin dilupakan salah satunya adalah kesenian sintren. Sintren merupakan kesenian tradisional yang berasal dari pesisir utara pantai Jawa Barat dan Jawa Tengah. Daerah persebaran kesenian ini di antaranya di Indramayu, Cirebon, Majalengka, Jatibarang, Brebes, Tegal, Pemalang, Banyumas, dan Pekalongan.

Pemerhati seni budaya Erwindho menjelaskan, keberadaan kesenian sintren hampir punah karena tidak ada warga yang menanggap. Jika tidak ada upaya melestarikan, menurut Erwindho, kesenian sintren sebagai salah satu kekayaan budaya dan kearifan lokal ini tidak menutup kemungkinan akan punah dari perbendaharaan budaya bangsa.Seperti diberitakan Radar Tegal (Jawa Pos Group), salah satu usaha untuk melestarikan kesenian sintren adalah dengan sering digelarnya pertunjukan sintren. Utamanya saat acara sedekah bumi maupun acara pesta di suatu daerah, akan menarik jika menampilkan kesenian sintren.Karenanya dia sangat mendukung jika di tiap-tiap kecamatan atau kelurahan, perlu digelar kesenian rakyat, tak terkecuali kesenian sintren. Minimal pertunjukan rakyat digelar setiap dua bulan, sehingga warganya saling silaturahmi. Saling tegur sapa.

Kalau setiap kecamatan atau kelurahan, nantinya ada agenda pertunjukan kesenian rakyat semisal itu pertunjukan wayang kulit atau golek. Atau pertunjukan kesenian lain, sehingga iklim kesenian di Kota Tegal dan sekitarnya semakin dinamis.
Dalam sejarahnya yang namanya seni tradisional, selain melekat fungsi hiburan juga sebagai sarana kegiatan upacara bersama. Lebih jauh, kesenian juga dapat menumbuhkan semangat nasionalisme. Kesenian sebagai bagian dari kehidupan masyarakat, keberadaannya harus tetap dilestarikan.Sintren dikenal juga dengan nama lain yaitu lais. Kesenian tradisional sintren ini sebenarnya merupakan tarian mistis, karena di dalam ritualnya mulai dari permulaan hingga akhir pertunjukan banyak ritual magis untuk memanggil roh atau dewa. Agar kesenian ini semakin memiliki sensasi seni yang kuat dan unik.

Asal mula munculnya kesenian ini tidak terlepas dari sebuah cerita yang melatar belakangi kesenian ini. Kesenian sintren tidak bisa dilepaskan dengan kisah antara Sulasih dan R. Sulandono, seorang putra bupati di Mataram Joko Bahu atau dikenal dengan nama Bahurekso dan Rr. Rantamsari.Percintaan antara Sulasih dan R. Sulandono tidak direstui oleh orang tua R. Sulandono. Sehingga R. Sulandono diperintahkan ibundanya untuk bertapa dan diberikan selembar kain (sapu tangan) sebagai sarana kelak untuk bertemu dengan Sulasih setelah masa bertapanya selesai.
Sedangkan Sulasih diperintahkan untuk menjadi penari pada setiap acara bersih desa diadakan, sebagai syarat dapat bertemu R. Sulandono.Tepat pada saat bulan purnama diadakan upacara bersih desa, berbagai pertunjukan rakyat digelar, maka pada saat itulah Sulasih menari sebagai bagian pertunjukan. R. Sulandono turun dari pertapaannya secara sembunyi-sembunyi dengan membawa sapu tangan pemberian ibunya.Sulasih yang menari kemudian dimasuki kekuatan spirit Rr. Rantamsari sehingga mengalami “trance” dan saat itu pulalah R. Sulandono melemparkan sapu tangannya sehingga Sulasih pingsan.

Saat Sulasih trance atau kemasukan roh halus atau kesurupan yang disebut ‘Sintren’ dan pada saat R. Sulandono melempar sapu tangannya disebut sebagai ‘balangan’. Balangan yaitu pada saat penari sintren sedang menari maka dari arah penonton ada yang melempar sesuatu ke arah penari sintren.

Setiap penari terkena lemparan maka sintren akan jatuh pingsan. Pada saat itulah pawang dengan menggunakan mantra-mantra tertentu kedua tangan penari sintren diasapi dengan kemenyan dan diteruskannya dengan mengusap wajah penari sintren dengan tujuan agar roh bidadari datang lagi sehingga penari sintren itu dapat melanjutkan menari lagi.Kemudian, penonton yang melemparkan uang tersebut diperbolehkan untuk menari dengan sintren dan itulah pelaksanaan dari pertunjukan kesenian sintren. Kesenian sintren pada awal perkembang dipentaskan bersamaan datangnya musim panen maupun acara sedekah bumi di suatu desa.

Hingga kini, seni tari sintren masih kental dengan unsur magis dan mistis ini. Meskipun kini kemajuan teknologi telah menggerus zaman, kesenian yang juga disebut lais itu masih dilestarikan segelintir pegiat seni budaya.  Atas dasar itu, Dinas Pariwisata Budaya Pemuda dan Olahraga (Disparbudpora) Brebes Jateng bekerja sama dengan Lembaga Studi dan Agama (Elsa) dan didukung Dewan Kesenian menggelar kesenian sintren di Pendopo Jaka Poleng, Sabtu, 20 Agustus 2016.
Pagelaran sintren bertajuk "Merajut Harmoni Merawat Tradisi" itu menarik warga dan menjadi ajang pelestarian sintren yang mulai jarang ditampilkan di muka umum.  Salah satu faktor menarik dalam pertunjukan sintren adalah pemilihan pemain utama. Syaratnya adalah gadis belia yang belum mengalami menstruasi dan dijamah lelaki bukan muhrim. Selain itu, selama pertunjukan sintren selalu diiringi musik tradisional dan lantunan lagu yang merupakan mantra untuk memanggil arwah atau roh dari alam gaib.

Berdasarkan pantauan Liputan6.com, pertunjukan sintren diawali dengan iringan musik tradisional dan lagu-lagu mantra berbahasa Jawa. Alat musik pengiring itu terbuat dari tembikar dan kipas bambu yang ketika ditabuh dengan cara tertentu menimbulkan suara yang khas.

Tak lama berselang, sang penari sintren pun mulai memasuki panggung dengan sedikit gerakan dari kedua tangannya.  Setelah berada di atas panggung pertunjukan, pawang sintren memperebutkan sebuah kurungan dari pohon bambu yang sudah dibalut kain bewarna merah ke sintren yang duduk menunggu.

Sekitar lima menit kemudian, setelah pawang membacakan mantra-mantra, kurungan itu diangkat oleh sang pawang. Ajaib, sang gadis itu sudah berubah penampilan.  Ia berganti pakaian dari kepala hingga kaki, lengkap dengan kaca mata hitam. Sang sintren pun langsung memeragakan tarian dengan gayanya yang lemah gemulai.

Saat menari itulah, tampak sang sintren mulai menunjukkan kemahirannya dan menciptakan suasana yang cukup berbeda serta sedikit menegangkan. Beruntung, empat orang penjaga sintren yang berada tak jauh dari aksi menawan liukan kaki, tangan, dan kepala sang sintren mampu menjaga tubuhnya tidak sampai terjatuh.

Sesekali terlihat penonton memberikan uang dengan cara dilempar ke arah sang sintren. Uang balangan--sebutan untuk uang saweran--itu tak sampai mengenai ataupun menyentuh sang sintren. Jika uang balangan itu sampai menyentuh bagian tubuhnya, sang sintren pun langsung roboh pingsan jatuh ke lantai.  Untuk itu, pawang sintren menyebarkan asap kemenyan. Tujuannya agar membuat sang sintren terus menari dan melanjutkan pertunjukannya sampai usai.

Cinta Sulasih
Tari sintren diyakini merupakan wujud cinta pasangan kekasih yang tak direstui keluarga. Selama pertunjukan sekitar satu jam, ratusan penonton yang memadati pendopo Brebes pun sempat dibuat takjub dan serius menyaksikan aksi sang sintren. Sembari duduk maupun berdiri, kedua mata penonton serius tertuju ke arah sang sintren.

Menurut Suwanto, pimpinan kesenian Sintren Brebes, kesenian Sintren dikenal sebagai tarian dengan aroma mistis atau magis yang bersumber dari cerita cinta kasih Sulasih dengan Sulandono. Ia menceritakan, Sulandono adalah putra pertama Bupati Kendal, Ki Bahurekso, dengan Dewi Rantamsari atau Dewi Lanjar. Sulandono memadu kasih dengan seorang putri dari Desa Kalisalak bernama Sulasih. Namun, hubungan mereka tidak direstui. Akhirnya, Sulandono pergi bertapa dan Sulasih memilih menjadi penari. Meskipun demikian, konon pertemuan di antara keduanya masih terus berlangsung melalui alam gaib. Berdasar kisah itulah, kabarnya kesenian tari sintren lahir.  "Penampilan sintren ini sebagai upaya melestarikan budaya pantura yang telah dikenal sejak beratus-ratus tahun yang silam," ucap Suwanto di Brebes, Jateng, Sabtu, 20 Agustus 2016.

Ia menyebut bahwa kesenian sintren telah menjadi tradisi dan kehadirannya selalu ditunggu-tunggu oleh masyarakat Jawa, khususnya di wilayah pantura barat.  "Sampai saat ini, masyarakat Brebes masih mengenal sintren sebagai kesenian yang mengandung magis dan mistis. Padahal, suatu keterampilan yang bisa dijalankan oleh siapa saja," kata dia.

Kesenian sintren, kata dia, seperti halnya sulap, bisa dipelajari. Tentu saja membutuhkan keseriusan dan waktu yang tak sedikit.  "Belajar menari sintren itu butuh waktu, karena ada beberapa pendalaman selain tariannya, juga bagaimana agar bisa memasuki jiwanya untuk berkonsentrasi membuat tarian itu menjadi lebih hidup," kata dia.

Sementara itu, Kepala Disparbudpora Brebes Amin Budiharjo mengatakan pagelaran sintren bertajuk "Merajut Harmoni Merawat Tradisi" ini sebenarnya sudah pernah digelar beberapa kali. Pagelaran sintren diselenggarakan untuk menumbuhkan rasa toleransi di antara warga di Kabupaten Brebes. "Di sini (Brebes) keragaman budaya dan bahasa yang lebih dari satu. Ada suku Jawa dan suku Sunda. Maka, hal itu yang mempengaruhi budaya dan bahasa yang berlainan. Sehingga tetap terjalin silaturahmi antar warga yang memiliki budaya dan tradisi serta bahasa yang berlainan," dia menandaskan.




Komentar

Postingan Populer