EKSISTENSI SINTREN DI MASYARAKAT


Bagi masyarakat yang tinggal di sekitar pesisir pantai utara Jawa pasti sudah tak asing lagi dengan kesenian Sintren. Kesenian yang dalam pementasanya memadukan unsur-unsur mistis ini mudah kita jumpai di daerah-daerah pesisir seperti Indramayu, Cirebon, Brebes, Tegal, Pemalang dan Pekalongan. Kesenian yang unik ini dipentaskan pada saat-saat tertentu dengan perpaduan antara unsur magis dan unsur-unsur estetis sebuah tarian. Kesenian ini telah lama hidup dan melebur menjadi bagian dari asmosfir kehidupan masyarakat pesisir, hingga kini keberadaanya telah dianggap sebagai harta milik bersama yang telah diwariskan kepada masyarakat sebagai warisan budaya. Mengutip pendapat  Budiono Herususanto Bahwa kebudayaan adalah identitas suatu bangsa, dan setiap bangsa memiliki kebudayaanya sendiri yang berbeda dengan kebudayaan bangsa atau suku yang lainnya.


 Maka sintren sebagai warisan budaya ini pun kini telah menjelma sebagai kesenian yang khas khususnya di daerah pesisir utara laut Jawa. Dalam sebuah kesempatan saya sempat berbincang-bincang dengan Bapak H. Rasban seorang pelestari kesenian Sintren di kabupaten Tegal. Beliau menjelaskan bahwa kesenian ini memang telah lama ada, dan masih dilestarikan namun kini keberadaanya telah banyak mengalami perubahan seiring berubahnya zaman. Misalnya saja dalam penggunaan alat musik pengiring yang semula hanya menggunakan alat berupa Bumbung, Buyung, Tampah dan Aten kini telah mengalami sedikit pergeseran dengan penggunaan gamelan, Gong, Kendang dan lain sebagainya.
 Di kabupaten Tegal sendiri menurut H. Rasban, dulunya kesenian Sintren digunakan dalam upacara-upacara tradisional seperti Upacara memohon hujan ketika suatu desa landa kemarau yang berkepanjangan. Agak aneh memang, membayangkan sebuah tarian sebagai sebuah jalan dalam upacara ritus. Apalagi upacara tersebut adalah upacara permohonan yang didalamnya sang pelaku terlibat interaksi langsung antara dirinya dan yang memiliki kuasa mengabulkan permohonan tersebut. Dalam sebuah catatan Bani Sudardi, seorang budayawan mengatakan lewat karyanya yang berjudul Makna Ritus dan Upacara Tradisional Pesisir Utara Jawa bahwa dalam suatu kelompok masyarakat tertentu ada suatu bentuk ritual atau tradisi di mana suatu ritual atau tradisi itu bukanlah sesuatu yang mandiri melainkan terikat dengan aspek-aspek lain, seperti aspek kepercayaan atau religi. lebih lanjut Bani menjelaskan bahwa ada tiga unsur utama dalam sistem religi yaitu keyakinan, upacara keagamaan dan masyarakat pendukungnya. Sistem keyakinan adalah suatu konsep yang hidup dalam masyarakat yang menyangkut berbagai hal seperti kosmologi, mitologi, legenda, dsb. Sistem tersebut merupakan hal yang dipercaya masyarakat pemiliknya dan dianggap benar terjadi.
Selain itu sistem upacara juga berperan dalam pembentukan suatu tradisi, di mana sistem upacara adalah suatu bentuk reaktualisasi adanya sistem kepercayaan. Seiring berkembangnya zaman, keberadaan sintren pun kini telah mengalami banyak perubahan  mulai dari teknis dan bentuk penyajiannya hingga fungsinya yang kini telah bergeser dari fungsi ritual menjadi fungsi hiburan. Namun demikian, kita sebagai generasi yang telah diwarisi oleh para leluhur hendaknya menjaga agar apa yang telah dititipkan kepada kita sebagai warisan budaya tetap terjaga kelestarianya.
Sintren sebagai suatu seni adalah salah satu dari bagian kebudayaan yang
terkena imbas arus modernitas, yang tidak tersaring secara ketat menyebabkan
proses akulturasi budaya berjalan lancar. Bentuk-bentuk modernitas, misalnya
tempat-tempat hiburan yang bersifat modern antara lain: bioskop, café, karaoke,
mall, dan sebagainya menggusur keberadaan kesenian sebagai alternativ hiburan
yang mengandung unsur-unsur pendidikan dan pencerahan, khususnya kesenian
tradisional.
Modernitas dalam bentuk teknologi hiburan, besar pengaruhnya terhadap
kesenian tradisional. Kesenian tradisional membutuhkan proses yang lama dalam
memahami dan menampilkan, berbeda dengan teknologi hiburan modern yang
bersifat instant. Di sinilah akan terjadi cultural lag dalam kebudayaan berkaitan
dengan keberadaan kesenian tradisional. Menurut Koentjaraningrat, bahwa
cultural lag adalah perbedaan antara taraf kemajuan berbagai bagian dalam
kebudayaan suatu masyarakat. Artinya ketinggalan kebudayaan, yaitu selang
waktu antara saat benda itu diperkenalkan pertama kali dan saat benda itu
diterima secara umum sampai masyarakat dapat menyesuaikan diri terhadap
benda tersebut.
Dalam kasus ini, benda yang dimaksud di atas dapat diterapkan sebagai
kesenian tradisional. Suatu culture lag terjadi apabila irama perubahan dari dua
unsur perubahan (mungkin lebih) memiliki korelasi yang tidak sebanding
sehingga unsur yang satu tertinggal oleh unsur lainnya.
Dari fakta tersebut menjadikan kesenian tradisional sebagai bentuk yang
ketinggalan zaman. Salah satu bentuk kesenian tradisional yang kentara terkena
imbasnya adalah kesenian tradisional Sintren.
Para pekerja seni Sintren sebagai aset sumber daya manusia harus
berjuang melawan modernitas, sebagai kaum minoritas yang menyampaikan
nilai-nilai egalitarian dalam pementasannya, mereka telah ikut andil dengan
caranya dalam pelaksanaan mengisi pembangunan, baik fisik maupun non
fisik/sosial demi kelangsungan hidup para seniman Sintren tersebut.
Dalam pertunjukan Sintren para penonton yang datang bukan hanya dari
desa setempat saja. Dari luar desapun banyak yang berdatangan untuk sekadar
menonton ataupun menginginkan romantisme lama atau ada juga yang
menghendaki supaya budaya setempat langgeng sampai anak cucu.
Dalam perspektif lain sebenarnya kehadiran Sintren justru dapat menjadi
alternatif bagi pelaku seni sintren maupun masyarakat yang terlibat di dalam
pertunjukan kesenian tersebut, untuk pemberdayaan ekonomi mikro, ditengah
himpitan modernitas dan globalisasi yang secara masif menghimpit rakyat kecil,
pementasan sintren menjadi sesuatu yang mendatangkan manfaat secara
ekonomi. Dibalik kesederhanaan, keikhlasan, kepolosan, seorang gadis penari
sintren ternyata sedikit banyak mampu mendongkrak susana sepi menjadi
keramaian penuh optimis penduduk suatu desa. Di mana sebagian penduduk
dapat memberdayakan eonomi skala mikro melalui usaha dagang seperti; krupuk
sambal, tahu aci, mainan anak-anak, pecel, serundeng lumping kerbau dan lainlain, yang dilakukan dengan selalu mengikuti pertunjukan keliling sintren dari
satu desa ke desa lain. Dari uraian tentang bagaimana pertunjukan Sintren di atas, dapat
disimpulkan bahwa ada beberapa makna yang terdapat di balik pertunjukan
Sintren, antara lain: pertama, makna mistis yang memiliki hubungan dengan
perolehan secara magis simpatetik. Ini tercermin lewat lagu-lagu yang dilantunkan
dengan monoton tapi sederhana dan mampu memberikan kekuatan tertentu,
sehingga pemain Sintren dari kondisi terikat kuat dapat lepas dan berpakaian
dalam hitungan menit. Kedua, makna teatrikal. Makna teatrikal ini digambarkan
dengan tampilnya pawang dengan pemain Sintren dan kurungan secara simultan.
Lalu Sintren berganti rupa dalam penampilannya sejak diikat dan dimasukkan ke
dalam kurungan dan keluar lagi serta masuk lagi dalam kurungan. Pertunjukan
semacam itu merupakan adegan teatrikal yang menarik bagi siapa pun yang
melihatnya. Ketiga, makna simbolik. Makna simbolik ini ditunjukan bahwa
pertunjukan Sintren dahulu hampir slalu ditampilkan pada saat selesai panen. Ini
menunjukan rasa syukur atas keberhasilan panen yang dimiliki oleh para petani
yang ingin berbagi kebahagiaan dan kebersamaan dengan warga sekitarnya, oleh
karena itu dalam pertunjukan Sintren juga dihidangkan berbagai macam makanan.
Dalam masa kinipun, seni sintren menunjukan pesan egalitarian dan
hubungan antara pencipta dengan yang dicipta. Pesan egalitarian, karena untuk
pertunjukkannya, segenap warga yang ditempati pertunjukan sintren melakukan
gotong royong mengumpulkan uang untuk menjamu dan sekedar memberi
transport anggota paguyuban sintren. Hubungan pencipta dan yang dicipta,
karena dalam pertunjukan sintren terdapat lagu-lagu yang berisi permohonan
kepada Sang Pencipta, kini bahkan dinyanyikan shalawat nabi.
 Meski tekanan modernitas begitu kuat, tetapi sebagai seni tradisional
keberdayaan seni Sintren tetap eksis karena adanya semangat para pelaku seni
Sintren yang berusaha menghidupkan kesenian Sintren lebih dari sebuah
"pengabdian" untuk melestarikan budaya warisan nenek moyang, atau adanya
keinginan kuat mempertahankan nilai-nilai kearifan lokal yang tersimpan di
dalamnya, sebagaimana yang dilakukan oleh salah satunya adalah anggota
Paguyuban Sintren Slamet Rahayu Dusun Sirau Kelurahan Paduraksa.
Pertunjukan Sintren juga bisa menjadi alternatif membangkitkan ekonomi
mikro rakyat kecil dalam mencari pengahasilan tambahan ekonomi rumah tangga
atas desakan kebutuhan ekonomi dan sebagai upaya mencoba bertahan hidup
sambil nguri-uri budaya sendiri.

Komentar

Postingan Populer